Senin, 31 Oktober 2011

Film Review "Alangkah Lucunya Negeri Ini" (Jangan tertawa. Tertawa itu dilarang!)


Beberapa kali saya menonton film Indonesia dengan promosi besar-besaran dan (katanya) memuat nilai kehidupan, belum pernah saya sebegitu terdiamnya melihat gambaran yang benar-benar dekat dengan batas realita bangsa ini. Meskipun ini ‘hanya’ sebuah tugas, atau bisa dikatakan pemaksaan, tapi saya rasa film ini perlu disebarluarkan kepada siapa saja, yang menganggap dirinya sebagai bangsa Indonesia. 
Biasanya, begitu film yang saya lihat selesai, saya langsung bisa menyimpulkan ‘Ini film lebay’ atau ‘Yah, ujung-ujungnya gini juga, kalo nggak pornoaksi ya plagiator film luar negeri’. Tapi yang saya rasakan setelah 2 kali melihat film ini, ‘Yang ini, 2 acungan jempol!’. Luar biasa. 

Film garapan om Dedy Miswar, sosok sutradara yang melegenda dalam dunia perfilman Indonesia, mengambil perspektif yang berbeda dengan bangsa ini. Biasanya, dalam film lain kita selalu dibangga-banggakan sebagai bangsa yang bermartabat, implikasinya kita adalah bangsa yang sengsara dan selalu terinjak-injak. Tapi ini lain. Di film ini, disuguhkan fenomena dari kaum urban di Jakarta yang entah mengapa berindikasi negatif. Film ini sangat mencerminkan kaum yang selama ini tersisihkan dari perhatian pemerintah, yang selalu mengais rezeki di jalanan, berkeliaran, ditambah lagi dengan aksi kriminalitasnya yang cukup beralasan, yaitu ‘kesulitan secara finansial’. Entah ini patut dimaklumi atau tidak, tergantung pembaca sekalian. 

Om Dedy sepertinya begitu sensitive terhadap lingkungan sekitarnya. Mengangkat tema anak-anak jalanan yang buta huruf dalam usia yang masih muda dan produktif, hidupnya dicengkeram oleh sang Bandar, basis pendidikan yang sangat minim (yang mengejutkan, mereka bahkan tidak bisa menggunakan pensil saat akan menulis dengan benar), kasih sayang serta perhatian dari orang tua pun rasa-rasanya tidak ada. Memelas? Sangat. 

Sebagai actor utama, Reza Rahardian sebagai Muluk, seorang S1 Manajemen yang masih berpontang-panting mencari kesempatan untuk bekerja. Bermula dari pertemuan tidak sengaja di sebuah pasar di sudut kota Jakarta, Muluk melihat sebegitu jelasnya bagaimana anak-anak umur 10 tahunan yang seharusnya sedang mengenyam bangku sekolah, justru berkeliaran di pasar kumur seperti itu untuk mencopet. Ya, mereka adalah tim yang solid, bekerja dengan sistematis dan cerdik, namun untuk masalah mencopet. Memperihatinkan.

Nasib berkata lain. Muluk yang tidak percaya dengan kejadian tersebut, malah bertemu lagi dengan para pencopet cilik. Salah satu pencopet cilik, Komet malah mengajaknya untuk bergabung di markas, sebuah tempat untuk berkumpul dengan pencopet lainnya, saling menyetor hasil copetan, istirahat, dan bertemu dengan Jarot, bos para pencopet tersebut. Dengan niat yang baik untuk memperbaiki nasib para pencopet cilik, Muluk justru memiliki ide yang diluar dugaan. Bekerja sama dengan para pencopet dalam pengelolaan hasil copetan. Sebagai imbalan, Muluk meminta 10%. Mereka akhirnya bersepakat. Hal-hal lucu dan tidak terduga mewarnai adegan-adegan dalam film ini. Bisa dibuktikan!

Kejar setoran menjadi aktivitas sehari-hari bagi kaum ini. Mereka hanya menjalani rutinitas 'bergerilya' dari satu pasar ke pasar lainnya, lagi-lagi untuk mencari mangsa. Apalagi motivasi dari Muluk yang sangat dijiwai oleh anak-anak tersebut, menambah semangat kerja keras. Ketika disinggung masalah pendidikan, mereka dengan lantang menolak untuk kembali berguru di bangku sekolah. Mereka sudah malas dan merasa nyaman dengan kehidupannya sekarang. Nasib serupa juga dialami Samsul, seorang sarjana pendidikan yang setiap harinya hanya bergulat dengan kartu di pos ronda. Untuk seorang sarjana pun, melakukan sebuah usaha rasa-rasanya masih perlu pikir panjang. Apa yang terjadi, wahai kaum cendekia?

Poin penting dari fenomena tersebut adalah budaya bangsa kita yang terlalu menerima dan berpasrah pada nasib. Mereka mudah lelah untuk berusaha, yang pada akhirnya kebiasaan itu akan mendarah daging dan dicontoh oleh anak-anaknya. Mereka sama sekali tidak memberdayakan power yang sesungguhnya mereka miliki untuk bergerak, karena ya itu tadi. Mereka menganggap dirinya sendiri lemah. Jika sudah memiliki pikiran seperti itu, pekerjaan kecilpun akan dirasa susah. Lalu bagaimana dengan membuat langkah besar?


Kita adalah apa yang kita pikirkan. Sepertinya pantas dianalogikan dengan keputusan Muluk untuk menolak tawaran pekerjaan sebagai TKI di luar negeri dengan alasan yang tidak rasional. Yaitu bayangan hukum cambuk melayang-layang di pikirannya, cukup membuat Muluk menjadi pecundang besar. Cukup miris memang. Seorang sarjana yang notabene kaum dengan intelektualitas tinggi, gentar dengan pikiran sempit dan ketakutan yang tidak beralasan. Seharusnya, Muluk tidak menjadi pecundang yang takut hanya dengan bayangan ‘hukum cambuk’ di benaknya, padahal kesempatan besar menghampirinya.

Refleksi dari film ini banyak sekali. Yaitu ada sisi yang belum terjamah oleh publik dan pemerintah terhadap keberlangsungan kehidupan para masyarakat 'pra-sejahtera', khususnya anak-anak. Mereka yang hidupnya terlantar karena menjadi korban dari kerasnya kehidupan perkotaan, sekaligus menjadi korban politik pemerintahaan yang sering ingkar janji. Pendidikan menjadi salah satu tolak ukur tingkat kualitas suatu bangsa. Namun apa yang terjadi, banyak ditemui, khususnya dalam film tersebut, untuk memgang pensil pun mereka masih belum menguasainya. Dimana tanggung jawabmu, Pemerintah?


Pikiran yang mencipta, pikiran pula yang menentukan. Jika kita mengkonsep diri kita sebagai pribadi yang lemah dan tidak tahan banting, maka itu adalah sebuah pengakuan dan selayaknya patut terjadi. Mereka yang bernasib kurang beruntung, hanya bisa berpasrah, tanpa sedikitpun bergeming dari zona yang mereka anggap nyaman, padahal jelas sekali itu membahayakan masa depan mereka. Selain itu, dengan pikiran yang sempit maka itulah yang akan membatasi kreativitas dan cita-cita kita sesungguhnya. Budaya melihat sesuatu hanya dari satu sisi saja sepertinya telah mendarah daging di kehidupan bangsa ini. Sepatutnya kita melihat sebuah fenomena dari berbagai sisi dan berpikir ke arah masa depan.

Lingkungan adalah sumber dari pengaruh yang terjadi dalam hidup kita. Jika kita bisa memilih lingkungan atau pergaulan yang baik, maka kita akan menjadi pribadi yang baik. Sebaliknya, ketika kita salah memilih, nikmati saja kesalahan tersebut.

Paling tidak, film ini adalah refleksi bangsa kita dengan budaya yang telah porak-poranda. Kritik sosial hadir dalam film ini dengan menyinggung masalah kehidupan masyarakat pra-sejahtera yang tercabut hak-haknya karena pola pikir yang sempit serta lingkungan yang tidak mendukung mereka untuk maju, menembus impian dan cita-cita yang seharunya bisa mereka lalui. Inikah wajah bangsamu, Indonesia? Apakah kau tak malu lalu sadar diri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar