Beberapa kali saya menonton film
Indonesia dengan promosi besar-besaran dan (katanya) memuat nilai kehidupan, belum
pernah saya sebegitu terdiamnya melihat gambaran yang benar-benar dekat dengan
batas realita bangsa ini. Meskipun ini ‘hanya’ sebuah tugas, atau bisa dikatakan
pemaksaan, tapi saya rasa film ini perlu disebarluarkan kepada siapa saja, yang
menganggap dirinya sebagai bangsa Indonesia.
Biasanya, begitu film yang saya
lihat selesai, saya langsung bisa menyimpulkan ‘Ini film lebay’ atau ‘Yah,
ujung-ujungnya gini juga, kalo nggak pornoaksi ya plagiator film luar negeri’.
Tapi yang saya rasakan setelah 2 kali melihat film ini, ‘Yang ini, 2 acungan
jempol!’. Luar biasa.
Film garapan om Dedy Miswar,
sosok sutradara yang melegenda dalam dunia perfilman Indonesia, mengambil
perspektif yang berbeda dengan bangsa ini. Biasanya, dalam film lain kita
selalu dibangga-banggakan sebagai bangsa yang bermartabat, implikasinya kita
adalah bangsa yang sengsara dan selalu terinjak-injak. Tapi ini lain. Di film
ini, disuguhkan fenomena dari kaum urban di Jakarta yang entah mengapa berindikasi
negatif. Film ini sangat mencerminkan kaum yang selama ini tersisihkan dari
perhatian pemerintah, yang selalu mengais rezeki di jalanan, berkeliaran, ditambah lagi dengan aksi kriminalitasnya yang cukup beralasan, yaitu ‘kesulitan secara
finansial’. Entah ini patut dimaklumi atau tidak, tergantung pembaca sekalian.
Om Dedy
sepertinya begitu sensitive terhadap lingkungan sekitarnya. Mengangkat tema
anak-anak jalanan yang buta huruf dalam usia yang masih muda dan produktif,
hidupnya dicengkeram oleh sang Bandar, basis pendidikan yang sangat minim (yang
mengejutkan, mereka bahkan tidak bisa menggunakan pensil saat akan menulis dengan
benar), kasih sayang serta perhatian dari orang tua pun rasa-rasanya tidak ada.
Memelas? Sangat.
Sebagai actor utama, Reza
Rahardian sebagai Muluk, seorang S1 Manajemen yang masih berpontang-panting
mencari kesempatan untuk bekerja. Bermula dari pertemuan tidak sengaja di
sebuah pasar di sudut kota Jakarta, Muluk melihat sebegitu jelasnya bagaimana
anak-anak umur 10 tahunan yang seharusnya sedang mengenyam bangku sekolah,
justru berkeliaran di pasar kumur seperti itu untuk mencopet. Ya, mereka adalah
tim yang solid, bekerja dengan sistematis dan cerdik, namun untuk masalah
mencopet. Memperihatinkan.
Nasib berkata lain. Muluk yang
tidak percaya dengan kejadian tersebut, malah bertemu lagi dengan para pencopet
cilik. Salah satu pencopet cilik, Komet malah mengajaknya untuk bergabung di
markas, sebuah tempat untuk berkumpul dengan pencopet lainnya, saling menyetor
hasil copetan, istirahat, dan bertemu dengan Jarot, bos para pencopet tersebut.
Dengan niat yang baik untuk memperbaiki nasib para pencopet cilik, Muluk justru
memiliki ide yang diluar dugaan. Bekerja sama dengan para pencopet dalam
pengelolaan hasil copetan. Sebagai imbalan, Muluk meminta 10%. Mereka akhirnya
bersepakat. Hal-hal lucu dan tidak terduga mewarnai adegan-adegan dalam film
ini. Bisa dibuktikan!
Kejar setoran menjadi aktivitas
sehari-hari bagi kaum ini. Mereka hanya menjalani rutinitas 'bergerilya' dari
satu pasar ke pasar lainnya, lagi-lagi untuk mencari mangsa. Apalagi motivasi
dari Muluk yang sangat dijiwai oleh anak-anak tersebut, menambah semangat kerja
keras. Ketika disinggung masalah pendidikan, mereka dengan lantang menolak
untuk kembali berguru di bangku sekolah. Mereka sudah malas dan merasa nyaman
dengan kehidupannya sekarang. Nasib serupa juga dialami Samsul, seorang sarjana
pendidikan yang setiap harinya hanya bergulat dengan kartu di pos ronda. Untuk
seorang sarjana pun, melakukan sebuah usaha rasa-rasanya masih perlu pikir
panjang. Apa yang terjadi, wahai kaum cendekia?
Poin penting dari fenomena
tersebut adalah budaya bangsa kita yang terlalu menerima dan berpasrah pada
nasib. Mereka mudah lelah untuk berusaha, yang pada akhirnya kebiasaan itu akan
mendarah daging dan dicontoh oleh anak-anaknya. Mereka sama sekali tidak
memberdayakan power yang sesungguhnya mereka miliki untuk bergerak, karena ya itu tadi. Mereka
menganggap dirinya sendiri lemah. Jika sudah memiliki pikiran seperti itu, pekerjaan
kecilpun akan dirasa susah. Lalu bagaimana dengan membuat langkah besar?
Kita adalah apa yang kita
pikirkan. Sepertinya pantas dianalogikan dengan keputusan Muluk untuk menolak
tawaran pekerjaan sebagai TKI di luar negeri dengan alasan yang tidak
rasional. Yaitu bayangan hukum cambuk melayang-layang di pikirannya, cukup
membuat Muluk menjadi pecundang besar. Cukup miris memang. Seorang sarjana yang
notabene kaum dengan intelektualitas tinggi, gentar dengan pikiran sempit dan
ketakutan yang tidak beralasan. Seharusnya, Muluk tidak menjadi pecundang yang
takut hanya dengan bayangan ‘hukum cambuk’ di benaknya, padahal kesempatan
besar menghampirinya.
Refleksi dari film ini banyak
sekali. Yaitu ada sisi yang belum terjamah oleh publik dan pemerintah terhadap
keberlangsungan kehidupan para masyarakat 'pra-sejahtera', khususnya anak-anak.
Mereka yang hidupnya terlantar karena menjadi korban dari kerasnya kehidupan
perkotaan, sekaligus menjadi korban politik pemerintahaan yang sering ingkar
janji. Pendidikan menjadi salah satu tolak ukur tingkat kualitas suatu bangsa.
Namun apa yang terjadi, banyak ditemui, khususnya dalam film tersebut, untuk
memgang pensil pun mereka masih belum menguasainya. Dimana tanggung jawabmu, Pemerintah?
Pikiran yang mencipta, pikiran
pula yang menentukan. Jika kita mengkonsep diri kita sebagai pribadi yang lemah
dan tidak tahan banting, maka itu adalah sebuah pengakuan dan selayaknya patut
terjadi. Mereka yang bernasib kurang beruntung, hanya bisa berpasrah, tanpa sedikitpun
bergeming dari zona yang mereka anggap nyaman, padahal jelas sekali itu
membahayakan masa depan mereka. Selain itu, dengan pikiran yang sempit maka
itulah yang akan membatasi kreativitas dan cita-cita kita sesungguhnya. Budaya
melihat sesuatu hanya dari satu sisi saja sepertinya telah mendarah daging di
kehidupan bangsa ini. Sepatutnya kita melihat sebuah fenomena dari berbagai
sisi dan berpikir ke arah masa depan.
Lingkungan adalah sumber dari
pengaruh yang terjadi dalam hidup kita. Jika kita bisa memilih lingkungan atau
pergaulan yang baik, maka kita akan menjadi pribadi yang baik. Sebaliknya,
ketika kita salah memilih, nikmati saja kesalahan tersebut.
Paling tidak, film ini adalah
refleksi bangsa kita dengan budaya yang telah porak-poranda. Kritik sosial
hadir dalam film ini dengan menyinggung masalah kehidupan masyarakat
pra-sejahtera yang tercabut hak-haknya karena pola pikir yang sempit serta
lingkungan yang tidak mendukung mereka untuk maju, menembus impian dan
cita-cita yang seharunya bisa mereka lalui. Inikah wajah bangsamu, Indonesia?
Apakah kau tak malu lalu sadar diri?