Senin, 31 Oktober 2011

Film Review "Alangkah Lucunya Negeri Ini" (Jangan tertawa. Tertawa itu dilarang!)


Beberapa kali saya menonton film Indonesia dengan promosi besar-besaran dan (katanya) memuat nilai kehidupan, belum pernah saya sebegitu terdiamnya melihat gambaran yang benar-benar dekat dengan batas realita bangsa ini. Meskipun ini ‘hanya’ sebuah tugas, atau bisa dikatakan pemaksaan, tapi saya rasa film ini perlu disebarluarkan kepada siapa saja, yang menganggap dirinya sebagai bangsa Indonesia. 
Biasanya, begitu film yang saya lihat selesai, saya langsung bisa menyimpulkan ‘Ini film lebay’ atau ‘Yah, ujung-ujungnya gini juga, kalo nggak pornoaksi ya plagiator film luar negeri’. Tapi yang saya rasakan setelah 2 kali melihat film ini, ‘Yang ini, 2 acungan jempol!’. Luar biasa. 

Film garapan om Dedy Miswar, sosok sutradara yang melegenda dalam dunia perfilman Indonesia, mengambil perspektif yang berbeda dengan bangsa ini. Biasanya, dalam film lain kita selalu dibangga-banggakan sebagai bangsa yang bermartabat, implikasinya kita adalah bangsa yang sengsara dan selalu terinjak-injak. Tapi ini lain. Di film ini, disuguhkan fenomena dari kaum urban di Jakarta yang entah mengapa berindikasi negatif. Film ini sangat mencerminkan kaum yang selama ini tersisihkan dari perhatian pemerintah, yang selalu mengais rezeki di jalanan, berkeliaran, ditambah lagi dengan aksi kriminalitasnya yang cukup beralasan, yaitu ‘kesulitan secara finansial’. Entah ini patut dimaklumi atau tidak, tergantung pembaca sekalian. 

Om Dedy sepertinya begitu sensitive terhadap lingkungan sekitarnya. Mengangkat tema anak-anak jalanan yang buta huruf dalam usia yang masih muda dan produktif, hidupnya dicengkeram oleh sang Bandar, basis pendidikan yang sangat minim (yang mengejutkan, mereka bahkan tidak bisa menggunakan pensil saat akan menulis dengan benar), kasih sayang serta perhatian dari orang tua pun rasa-rasanya tidak ada. Memelas? Sangat. 

Sebagai actor utama, Reza Rahardian sebagai Muluk, seorang S1 Manajemen yang masih berpontang-panting mencari kesempatan untuk bekerja. Bermula dari pertemuan tidak sengaja di sebuah pasar di sudut kota Jakarta, Muluk melihat sebegitu jelasnya bagaimana anak-anak umur 10 tahunan yang seharusnya sedang mengenyam bangku sekolah, justru berkeliaran di pasar kumur seperti itu untuk mencopet. Ya, mereka adalah tim yang solid, bekerja dengan sistematis dan cerdik, namun untuk masalah mencopet. Memperihatinkan.

Nasib berkata lain. Muluk yang tidak percaya dengan kejadian tersebut, malah bertemu lagi dengan para pencopet cilik. Salah satu pencopet cilik, Komet malah mengajaknya untuk bergabung di markas, sebuah tempat untuk berkumpul dengan pencopet lainnya, saling menyetor hasil copetan, istirahat, dan bertemu dengan Jarot, bos para pencopet tersebut. Dengan niat yang baik untuk memperbaiki nasib para pencopet cilik, Muluk justru memiliki ide yang diluar dugaan. Bekerja sama dengan para pencopet dalam pengelolaan hasil copetan. Sebagai imbalan, Muluk meminta 10%. Mereka akhirnya bersepakat. Hal-hal lucu dan tidak terduga mewarnai adegan-adegan dalam film ini. Bisa dibuktikan!

Kejar setoran menjadi aktivitas sehari-hari bagi kaum ini. Mereka hanya menjalani rutinitas 'bergerilya' dari satu pasar ke pasar lainnya, lagi-lagi untuk mencari mangsa. Apalagi motivasi dari Muluk yang sangat dijiwai oleh anak-anak tersebut, menambah semangat kerja keras. Ketika disinggung masalah pendidikan, mereka dengan lantang menolak untuk kembali berguru di bangku sekolah. Mereka sudah malas dan merasa nyaman dengan kehidupannya sekarang. Nasib serupa juga dialami Samsul, seorang sarjana pendidikan yang setiap harinya hanya bergulat dengan kartu di pos ronda. Untuk seorang sarjana pun, melakukan sebuah usaha rasa-rasanya masih perlu pikir panjang. Apa yang terjadi, wahai kaum cendekia?

Poin penting dari fenomena tersebut adalah budaya bangsa kita yang terlalu menerima dan berpasrah pada nasib. Mereka mudah lelah untuk berusaha, yang pada akhirnya kebiasaan itu akan mendarah daging dan dicontoh oleh anak-anaknya. Mereka sama sekali tidak memberdayakan power yang sesungguhnya mereka miliki untuk bergerak, karena ya itu tadi. Mereka menganggap dirinya sendiri lemah. Jika sudah memiliki pikiran seperti itu, pekerjaan kecilpun akan dirasa susah. Lalu bagaimana dengan membuat langkah besar?


Kita adalah apa yang kita pikirkan. Sepertinya pantas dianalogikan dengan keputusan Muluk untuk menolak tawaran pekerjaan sebagai TKI di luar negeri dengan alasan yang tidak rasional. Yaitu bayangan hukum cambuk melayang-layang di pikirannya, cukup membuat Muluk menjadi pecundang besar. Cukup miris memang. Seorang sarjana yang notabene kaum dengan intelektualitas tinggi, gentar dengan pikiran sempit dan ketakutan yang tidak beralasan. Seharusnya, Muluk tidak menjadi pecundang yang takut hanya dengan bayangan ‘hukum cambuk’ di benaknya, padahal kesempatan besar menghampirinya.

Refleksi dari film ini banyak sekali. Yaitu ada sisi yang belum terjamah oleh publik dan pemerintah terhadap keberlangsungan kehidupan para masyarakat 'pra-sejahtera', khususnya anak-anak. Mereka yang hidupnya terlantar karena menjadi korban dari kerasnya kehidupan perkotaan, sekaligus menjadi korban politik pemerintahaan yang sering ingkar janji. Pendidikan menjadi salah satu tolak ukur tingkat kualitas suatu bangsa. Namun apa yang terjadi, banyak ditemui, khususnya dalam film tersebut, untuk memgang pensil pun mereka masih belum menguasainya. Dimana tanggung jawabmu, Pemerintah?


Pikiran yang mencipta, pikiran pula yang menentukan. Jika kita mengkonsep diri kita sebagai pribadi yang lemah dan tidak tahan banting, maka itu adalah sebuah pengakuan dan selayaknya patut terjadi. Mereka yang bernasib kurang beruntung, hanya bisa berpasrah, tanpa sedikitpun bergeming dari zona yang mereka anggap nyaman, padahal jelas sekali itu membahayakan masa depan mereka. Selain itu, dengan pikiran yang sempit maka itulah yang akan membatasi kreativitas dan cita-cita kita sesungguhnya. Budaya melihat sesuatu hanya dari satu sisi saja sepertinya telah mendarah daging di kehidupan bangsa ini. Sepatutnya kita melihat sebuah fenomena dari berbagai sisi dan berpikir ke arah masa depan.

Lingkungan adalah sumber dari pengaruh yang terjadi dalam hidup kita. Jika kita bisa memilih lingkungan atau pergaulan yang baik, maka kita akan menjadi pribadi yang baik. Sebaliknya, ketika kita salah memilih, nikmati saja kesalahan tersebut.

Paling tidak, film ini adalah refleksi bangsa kita dengan budaya yang telah porak-poranda. Kritik sosial hadir dalam film ini dengan menyinggung masalah kehidupan masyarakat pra-sejahtera yang tercabut hak-haknya karena pola pikir yang sempit serta lingkungan yang tidak mendukung mereka untuk maju, menembus impian dan cita-cita yang seharunya bisa mereka lalui. Inikah wajah bangsamu, Indonesia? Apakah kau tak malu lalu sadar diri?

Menulis sederhana, Inspiratif dan luar biasa. Bagaimana caranya?


Dalam sejarahnya, manusia pasti akan mengalami proses pendewasaan diri dengan cara dan jalannya masing-masing. Mereka akan mengenal lebih jauh siapa diri mereka sesungguhnya, belajar memaknai hidup ini, dan membuat sebuah tujuan hidup yang cepat atau lambat akan diwujudkan setelah mereka mengalami pasang surut dalam kehidupannya. Sejarah juga mencatat, bahwa menulis adalah salah satu bentuk pendewasaan diri, percaya atau tidak. Dengan menulis, seseorang bisa mengasah kepekaan terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Selain itu, dengan menulis, intelektualitas seseorang sangat mudah terbaca. 

Menulis juga adalah salah satu sarana untuk berbagi. Karena ide, opini dan sejarah bisa disampaikan kepada orang lain melalui media tulisan sehingga ini bisa memiliki nilai kemanfaatan yang luar biasa bagi banyak orang. Menulis bagi sebagian orang, termasuk saya adalah hal yang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berulang kali saya mencoba menulis, baik sekadar iseng, atau tuntutan tugas sekolah, keduanya benar-benar memaksa saya berjibaku dengan rangkaian kalimat yang nampaknya harus disusun secara apik dan memiliki muatan. Apalagi ketika menulis, saya merasa dikejar waktu karena di saat yang sama, saya harus mengingat apa yang akan saya sampaikan lewat tulisan tersebut berdasarkan opini, cerita, pengalaman atau ilmu-ilmu yang pernah saya dapatkan dengan kecepatan tangan saya untuk mampu mengetik huruf alphabet dengan cepat. Saya juga banyak belajar menulis dari orang-orang inspiratif yang saya temui dari dunia maya. Paling tidak, hal itu sedikit mengubah cara pandang saya dalam penyampaian materi, dalam kata lain, mereka telah menjadi barometer terhadap gaya penulisan saya.

Dari pembelajaran yang saya dapatkan tentang menulis, baik dari kuliah tamu dan kebiasaan saya membaca tulisan-tulisan via blog, website, dll.  Dari orang-orang yang saya anggap hebat, saya menemukan poin-poin penting yang bisa dijadikan kiblat tentang tata cara penulisan yang baik dan benar. 

 Sederhana
Dalam tulisan yang baik dan benar, serta memuat nilai estetika, penulis biasanya menyampaikan materi baik berupa opini atau hal yang absolut kebenaraannya, dengan kesederhanaan yang bisa diwujudkan dengan penggunaan kalimat yang tidak terlalu panjang dan mudah dimengerti oleh pembaca. Selain itu, penulis yang baik harus mampu menguasai dua konsep, problem dan solusi atau sebab dan akibat agar tulisan mereka memiliki muatan yang mampu memberikan inspirasi kepada orang lain. Jangan sampai tulisan tersebut hanya memuat hal-hal yang sifatnya retoris belaka. Tapi perlu diingat, nilai kesederhanaan ini jangan dijadikan batas untuk mengungkapkan ide dan kreativitas penulis dalam berekspresi lewat tulisan, dan memperlihatkan kemampuan penulis yang minim pengalaman. Buat sebuah tulisan ‘sederhana’ namun memiliki muatan dan pengaruh yang luar biasa kepada pembacanya.

Mengetahui orientasi pembaca
Seorang penulis harus mampu mengenal dirinya sendiri, khususnya bagaimana gaya penulisan ide, opini atau cerita yang ingin ia bagi kepada para pembacanya. Hal ini dimaksudkan agar penulis bisa membidik segmentasi pembaca setianya. Selain itu, penulis juga layaknya memiliki orientasi pembaca saat menulis, agar tulisannya bisa dikomunikasikan dua arah dan tidak terkesan penulis hanya menulis untuk dirinya sendiri, dengan kalimat yang berputar-putar dan tidak memiliki konsep serta tujuan yang jelas. Berikan penyegaran-penyegaran dan inovasi dalam memilih topik, sebagai langkah bijak untuk menyenangkan pembaca yang memiliki selera yang beragam agar hasil karya penulis tidak terkesan monoton. 

Hindari istilah asing
Ketika seorang penulis telah mengetahui segmentasi pembacanya, di saat yang sama penulis tersebut akan mengetahui bagaimana selera pembaca dalam mengapresiasi sebuah karya seni tulisan. Penggunaan istilah asing juga patut diperhatikan agar pembaca yang memiliki latar belakang pendidikan, pengalaman, dan pemahaman bahasa, khususnya bahasa asing yang berbeda-beda. Jangan sampai pembaca merasa dibodohi dengan penggunaan diksi yang tidak rasional dan cenderung dibuat-buat. Gunakan istilah populer agar pembaca merasa dekat dengan fakta yang terkandung dalam sebuah tulisan.

Terlalu sedikit tips-tips yang saya bisa sampaikan berdasarkan materi kuliah tamu yang diselenggarakan pada hari Jumat, 21 Oktober 2010 di Jurusan Sistem Informasi (bangga euy) oleh Bapak Rudi Santosa. Beliau adalah dosen di STIKOM Surabaya, yang saya bisa pastikan bahwa dia telah menginspirasi saya, semoga begitupun dengan Anda.

Minggu, 30 Oktober 2011

Pemuda, tunjukkan dirimu sesungguhnya : SEMANGAT BERKONTRIBUSI !

Selamat pagi, pemuda Indonesia. Sekalipun Hari Sumpah Pemuda telah kita lewati bersama-sama, namun semangat jiwa muda kita harus tetap terjaga. 
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda yang setiap tahunnya jatuh pada tanggal 28 Oktober menjadi hari yang ditunggu-tunggu bagi bangsa ini, khususnya para pemuda-pemudi yang menjadi tulang punggung keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada perayaan tertentu memang dalam melewati hari bersejarah itu, tapi menurut saya, secara psikis, Sumpah Pemuda bukan hanya melulu bersinggungan dengan efek sejarah yang nampaknya sangat kolosal. Ini lebih mengarah ke bentuk pengakuan pemuda-pemudi kita, yang delapan puluh tiga tahun yang lalu, terhadap janji untuk sehidup semati menjunjung tanah air kita, Indonesia. Mereka mengakui mereka adalah generasi yang akan meneruskan cita-cita leluhur bangsa untuk berpatriotisme dan berjuang sesuai bidangnya masing-masing. Lebih dari itu, kemauan mereka yang notabene berasal dari latar belakang sosial budaya yang berbeda untuk bersatu-padu menyuarakan semangat kesatuan yang bisa kita jadikan tauladan yang baik. Sumpah Pemuda telah menggelorakan kita, sebagai pemuda yang memiliki potensi besar merubah dan menjadikan bangsa ini jauh lebih baik ke depannya. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan, besar atau kecil bukanlah jadi masalah. Kita diwarisi kemampuan yang besar untuk bisa merevolusi keterpurukan negara ini. Dengan apa?

Belajar dengan baik
Mungkin itu adalah keputusan yang tepat bagi para pemuda. Belajar di sini bukanlah sekadar dengan mengenyam bangku pendidikan, lalu puas atas prestasi yang didapat. Tidak, bukan itu saja. Belajar mengenal lingkungan dengan kemauan untuk mendengarkan, merasakan, lalu merespon dengan aksi-aksi positif terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat kita sendiri. Kita harus memiliki sensivitas lingkungan, jangan sampai kita yang katanya kaum intelek malah tutup mata, tutup kuping dan parahnya menutup hati nurani ketika rakyat menjerit dan membutuhkan bantuan kita. 

Berprestasi? Mengapa tidak!
Prestasi bukanlah melulu persoalan menang kalah, hadiah atau pujian. Prestasi adalah sebuah pencapaian yang bisa menjadikan kita sebagai insan yang lebih baik, dari hari kemarin. Ketika kita berupaya untuk berubah menjadi pribadi yang lebih matang dan bijak dalam memandang hidup, bagi saya itu adalah prestasi besar yang patut dicontoh. Jika kita menganalogikan prestasi berisi pujian, sanjungan, atau hadiah, maka ketika gagal untuk berprestasi, kita akan merasa sangat gagal dan tidak ada gunanya. Lalu apa yang terjadi? Kita akan semakin terbelakang dengan pikiran bodoh yang kita ciptakan sendiri tersebut. 

Berkontribusi bagi diri sendiri dan orang lain
Setelah kita belajar, baik itu formal atau non formal, kita harus berusaha mengamalkan ajaran yang kita dapat. Jangan sama ilmu yang kita dapatkan terbuang begitu saja. Mengendap lalu hilang karena tidak ada langkah konkrit yang kita amalkan dengan ilmu tersebut. Ini sama saja pekerjaan yang tidak berguna, belajar tapi tidak mengamalkan. Yang seharusnya kita lakukan dengan pembelajaran yang kita dapatkan tersebut adalah berkontribusi terhadap diri sendiri dan orang lain. Kontribusi terhadap diri sendiri? Misalnya dengan kemauan diri untuk berubah menjadi lebih baik dari hari ke hari. Kita bisa saja mengoreksi apa yang buruk dalam diri kita, lalu memperbaikinya. Paling tidak, kita sudah bisa berkontribusi bagi diri sendiri dengan mengubah kebiasaan buruk agar diharapkan kita menjadi manusia lebih baik.
Semangat berkontribusi kepada orang lain bisa dilakukan dengan banyak hal. Ada banyak problematika yang terjadi di sekitar kita, yang mungkin saja kita adalah kunci penyelesaiannya. Sedikitnya, kita bisa membantu mereka bila mengalami kesusahan, tentunya sesuai dengan kapasitas diri. Alangkah indahnya bila hidup yang singkat ini bisa kita jadikan penuh dengan kemanfaatan bagi orang lain, karena sesungguhnya kita diciptakan untuk saling bantu-membantu dan memberi perubahan baik kepada orang-orang di sekeliling kita. 

Kita adalah agen perubahan. Keberhasilan bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan ada di tangan kita. Kita adalah sumber inspirasi dan kretivitas. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk bersumbangsih terhadap masa depan negara kita. Baik berupa ide atau gebrakan yang berkualitas.
Kita adalah modal kejayaan bangsa. Potensi besar yang ada dalam diri kita menunggu untuk dipergunakan. Jangan sia-siakan karena ini adalah warisan luhur yang kita miliki untuk sebuah perubahan besar.
Kita adalah motor penggerak bangsa. Semangat untuk menjadikan bangsa ini menjadi lebih baik ada di diri kita. Kita harus kobarkan semangat ini agar semua orang bisa merasakan betapa pentingnya keberadaan kita dan mereka untuk berkontribusi kepada Indonesia tercinta.

Mari kita sejenak merefleksikan apa makna yang tersirat dari lahirnya Sumpah Pemuda yang telah mengajarkan kita banyak hal tentang kehidupan.
 

Pendidikan berkarakter? Haruskah?

Pendidikan yang berkarakter memang sedang ramai digalakkan menyusul program kerja menteri pendidikan saat ini, yaitu Pak Muhammad Nuh (dengan bangga saya sebutkan karena Beliau adalah alumni ITS). Semua instansi pemerintahan, khususnya yang bergerak dalam dunia pendidikan berlomba-lomba menyusun rencana terkait dengan penggalakan pendidikan yang berkarakter sesuai kesepakatan antar lembaga atau instansi tersebut. Pendidikan karakter yang dimaksud disini, berdasarkan artikel-artikel yang saya pakai sebagai referensi adalah :

Menurut UU no 20 tahun 2003 pasal 3 menyebutkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter bangsa yang bermartabat. Ada 9 pilar pendidikan berkarakter, diantaranya adalah:
  1. Cinta tuhan dan segenap ciptaannya
  2. Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian
  3. Kejujuran /amanah dan kearifan
  4. Hormat dan santun
  5. Dermawan, suka menolong dan gotong royong/ kerjasama
  6. Percaya diri, kreatif dan bekerja keras
  7. Kepemimpinan dan keadilan
  8. Baik dan rendah hati
  9. Toleransi kedamaian dan kesatuan
Bagi saya, sembilan pilar tersebut merupakan usaha pemerintah dalam membudidayakan sifat-sifat yang selayaknya dimiliki oleh generasi muda saat ini, yang notabene mereka adalah calon pemimpin bangsa yang harus memiliki pondasi yang kuat dan berkarakter sesuai yang dicita-citakan bangsa ini. Mengapa pemerintah membuat gebrakan baru dalam dunia pendidikan kita dengan meluncurkan program 'Pendidikan Berkarakter' tersebut?

Pemerintah nampaknya sedang meniru (secara positif) atas usaha Jepang yang merupakan sebuah negara maju (padahal jika dibandingkan dengan Indonesia, Jepang kalah jauh dalam urusan sumber dayanya). Hal ini cukup beralasan bagi bangsa kita untuk mau mencontoh filosofi hidup penduduk Jepang yang terkenal dengan pekerja keras dan memiliki konsep diri yang kuat akan makna kehidupan itu sendiri. Misalnya, kenyataan bahwa hanya ada 5-10% manusia cerdas ditiap negara membuat Jepang mempersiapkan pendidikan berkarakter untuk membentuk 90% siswa-siswinya yang merupakan penduduk mayoritas. Walhasil, negara Jepang kini menjadi negara maju dan disiplin bukan karena kecerdasan semata, tetapi karakter kuat dari penduduk mayoritas yang telah digembleng dalam masa pendidikan. Inilah yang seharusnya kita contoh, meskipun kita juga harus berbeda dengan nilai-nilai yang terkandung dalam bangsa ini. Kita harus memiliki karakter diri yang kuat sesuai moral yang berkembang dalam lingkungan sosial budaya Indonesia.

Cukup miris memang, kita sebagai bangsa yang tersohor memiliki potensi besar untuk maju, malah tertinggal dengan negara kecil, meskipun tidak memungkiri kita juga memiliki kelebihan atau hal-hal yang bisa dinilai lebih baik dari mereka. Kebalikan dari negara Jepang, pendidikan di Indonesia justru menyiapkan seluruh siswa-siswi kita menjadi ahli pemikir dan ilmuwan. Sedangkan di Jepang, mereka sadar bahwa tidak semua siswa itu cerdas dan memiliki potensi yang sama. Kecerdasan bukan hanya potensi akademik, tapi ada beraneka ragam dimensi kecerdasan yang sifatnya konkrit, seperti ketrampilan, seni, olahraga dan kegiatan non akademik lainnya. Bisa kita lihat dari sedikitnya lembaga pendidikan, contohnya sekolah-sekolah yang menyediakan pelayanan terhadap anak-anak luar biasa di luar bidang akademik. Meskipun ada, itupun milik swasta yang bisa dipastikan bukan sekolah rakyat jelata. Memang faktor akademik cukup penting, namun alangkah lebih baiknya jika berkaca pada diri sendiri terhadap kemampuan apa saja yang dirasa lebih menonjol, jangan sama ratakan kemampuan generasi kita yaitu hanya bergerak di bidang akademik. Saya contohkan, di sekolah beberapa guru sering menyepelekan murid-murid yang tidak terlalu tertarik atau tidak menonjol dalam bidang akademik, namun mereka justru lebih tertarik dengan bidang non akademik lain. Guru tersebut sering memarahi dan menganggap remeh mereka. Tidak sering, menjadikan mereka bulan-bulanan atas kekesalan dan ketidakpahaman untuk apa yang disebut karunia Tuhan, yaitu anugrah yang berbeda-beda di setiap orang.

Fenomena yang menarik adalah ketika dunia pendidikan asyik menciptakan siswa-siswi cerdas dengan memberikan beban pelajaran super berat dan banyak, padahal dengan beban pelajaran yang tinggi, energi guru dan siswa terbuang percuma karena mereka sadar hanya 5 – 10 % siswa saja yang mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Hal ini tentu menjadi bumerang bagi dunia pendidikan Indonesia karena jelas-jelas mengabaikan 90% siswa dengan kemampuan dibawah rata-rata dan dianggap tidak memiliki nilai akademis tinggi. Bahwa dikatakan bumerang karena siswa dengan nilai akademis rendah dan sedang menempati porsi terbesar di negara Indonesia, maka yang terjadi adalah pendidikan Indonesia menciptakan jurang dikotomi terhadap hak-hak pendidikan yang layak bagi 90% komunitas ini. Pantas saja, sebagian besar siswa yang termasuk bagian 90% tersebut sering menyerah terhadap keadaan yang memaksa mereka untuk mundur. Mereka merasa tidak dimanusiakan karena sesungguhnya itulah yang maksimal bisa mereka capai, namun mengapa orang lain menyalahkan atas kekurangan tersebut? Bukankah setiap orang memiliki sisi baik dan buruknya masing-masing? Ketika mereka dianggap gagal, mereka akan berhenti berharap. Lalu apa jadinya? Itu sama saja mematikan kreativitas mereka dan kemauan mereka untuk berupaya, bukan?

Mungkin dirasa terlalu 'lebay' memang, seorang mahasiswa baru yang terlalu awam dengan masalah krusial bangsa ini berani berbicara dan menyatakan fakta bangsanya sendiri. Ini sekedar opini. Opini yang selalu menyehatkan saya, karena dengan beropini saya jauh merasa lebih tenang. Khususnya opini yang diwujudkan dengan media tulisan. Semoga program Pendidikan Berkarakter bukan lagi menjadi jargon gagal. Selamat bekerja produktif teman-teman :)

Senin, 24 Oktober 2011

Berbeda? Mengapa takut?


Sering saya berpikir, mengapa manusia tidak diciptakan dengan kesamaan? Bukankah itu lebih bijak untuk membuat hati ini jauh dari kedengkian? Menjadikan kita lebih saling menghormati dan menghargai karena kita merasa sama? Lalu apa makna yang tersirat dari sebuah perbedaan?

Setiap insan akan selalu menemui berbagai macam perbedaan dalam hidup dan kehidupannya. Perbedaan itu akan selalu muncul ketika kita berusaha untuk tenggelam dalam sebuah kebersamaan. Namun di akhir cerita, kadang perbedaan itu malah menjadi jurang perpisahan. Perbedaan sering disalahkan sebagai tembok yang memenjarai kita dengan pikiran yang dangkal yang dipenuhi keegoisan dan kekufuran kita. Dunia ini penuh dengan bingkai perbedaan. Lihat saja, jutaan warna yang membuat kita menjadi lebih hidup, pink-kuning-biru-hijau-putih. Bisa dibayangkan kalau dunia seluruhnya ditutupi selimut yang bernama ‘hitam‘. Gelap dan menakutkan, betul?
Agungnya keunikan dan keragaman makhluk ciptaan Tuhan. Ciri fisik, pola pikir, tingkah laku, kebiasaan, dll. adalah wujud kecintaan Tuhan kepada hamba Nya agar mereka selalu mau untuk mengenal satu  sama lain tanpa memandang kelebihan dan kekurangannya.

Sebagai manusia biasa, sering kita merasa perbedaan sebagai gesekan yang harus dihindari. Kalau begitu, apakah kita mau mempunya wujud yang sama, tingkah laku yang sama, pola pikir yang sama? Lalu apakah yang akan membedakan kita sebagai makhluk yang memiliki derajat yang lebih tinggi diantara makhluk lainnya?

Ketika semua orang sama dan menganggap semuanya adalah pemimpin, siapa yang mau dipimpin?
Ketika semua orang sama dan menganggap dirinya adalah pandai, buat apa belajar?
Siapa yang akan menerima sedekah jika setiap orang menganggap dirinya kaya? 

Jadi kesamaan pun tidak selamanya menguntungkan. Benar kan?
Maknai perbedaan sebagai emas berharga dari sebuah nilai kebersamaan. Perbedaan itu akan membuat kita tahu apa tujuan kita diciptakan. Dan perbedaan itu akan membuat kita lebih bersyukur kepada Tuhan atas segala yang diberikan. Perbedaan jualah yang akhirnya menentukan, siapa yang memiliki derajat tertinggi dihadapan Sang Khalik, bukan fisik tapi HATI.

Karena kita SAMA, makhluk Tuhan dengan segala keagungan penciptaanNya.

TKI, Riwayatmu kini

Perhatian saya beberapa minggu ini tertuju pada sebuah pemberitaan panas tentang nasib beberapa TKI, khususnya TKW yang menjadi bulan-bulanan peradilan atas kasus pembunuhan. Apalagi ditambah kenyataan yang sangat pahit, satu diantara mereka sudah dihukum pancung oleh peradilan Arab Saudi tanpa ada pemberitahuan, baik secara resmi kepada pemerintah RI atau minimal keluarga korban sendiri. Bangsa Arab yang terkenal sadis (ini berdasar kenyataan) menambah kisah kelam terhadap pandangan dunia mengenai Islam. Mungkin itu hanya oknum, tapi yang jelas saya sangat menyayangkan perbuatan tidak berperikemanusiaan itu. Seperti kita tahu, banyak sekali TKI-TKI yang terkatung-katung nasibnya akibat ketidakadilan peradilan negara setempat. Apalagi takdir menambah sesal di hati mereka, ketika pemerintah tempat di mana mereka tumbuh dan berkontribusi, sama sekali tidak memberi perhatian khususnya kepada TKI yang ‘bermasalah’ ini. Mungkin hanya di sini, di Indonesia.

Sedikit fakta negara kita, tidak setuju? Abaikan!

Kini, negara sudah tidak sanggup lagi memberi sumber penghidupan bagi mereka yang serba kekurangan, minimnya lapangan pekerjaan, monopoli perusahaan asing yang mayoritas juga mengambil tenaga kerja asing, menjadi negara eksportir yang sukses dengan ratusan ribu penduduknya yang terpaksa mencari sumber-sumber penghidupan di tempat lain, yang jauh dari keluarga dan tanah airnya, yang jauh dari kata ‘terhormat’, yang merasa terbuang dan terhina. Bangga dengan devisa yang begitu besar, bersumber dari jerih payah para TKI nya lalu tidak diketahui jluntrungan penyalurannya. Masuk kantong para penguasa, bagaimana dengan yang lain? Terseok-seok hidupnya akibat krisis yang sedemikian kompleks dalam hidup.

Lagi-lagi, sudah tidak terurus di negeri sendiri, terbuang dan harus mengorbankan harga dirinya bekerja di negeri orang yang sangat rawan dihadapkan masalah : kekerasan, pembunuhan, ketidakadilan, tidak keberperikemanusiaan, eh sang penguasa yang rata-rata orang rakus harta dunia membuang muka dan seakan tidak peduli terhadap kelangsungan hidup para TKI di negeri sana. Mereka benar-benar dilepas dari kontrol pemerintah sendiri. Anda bisa menghitung berapa banyak para TKI yang terlilit masalah hukum dan pemerintah baru tahu ketika mereka benar-benar sudah diketok palu akan hukuman yang diganjarkan. Pemerintah sih tenang-tenang saja, mereka hanya bisa berkata "Kami baru tahu!" Hello, mengapa kami yang harus aktif memberi tahu Anda-Anda ini Pak! Darimana saja kemarin? Ada juga kasus para TKI yang sulit sekali dijamah bantuan hukum dari ‘orang sendiri’, dan mereka harus menghadapi peradilan sendiri karena biaya akal persoalannya. Mau tahu yang lain? Berapa banyak TKI yang harus mendekam berlama-lama di penjara sedangkan mereka sama sekali tidak bersalah atau malah menjadi korban dari masalah tersebut dan justru dijadikan kambing hitam oleh si tersangka dan oknum peradilan itu sendiri?

Ada banyak kasus yang menghadapkan kita pada kenyataan besar bahwa TKI seolah-olah dijadikan sapi perahnya pemerintah untuk menggali devisa sedalam-dalamnya. Lebih dari itu, julukan bangsa babu juga setuju atau tidak setuju memang nyata adanya. Bukannya nasionalisme saya yang luntur, tapi ini didasari kacamata seorang 17 tahun dan mungkin saja ini salah. Bayangkan, berapa banyak perusahaan-perusahaan asing dengan begitu besar modal nya di Indonesia, tumbuh subur berbekal modal ‘babu-babu’nya yang asli Indonesia. Mereka mengeruk sumber daya, bukan hanya itu. Mereka juga menyedot begitu besar potensi dan kepercayaan diri bangsa Indonesia untuk maju dan menyaingi mereka. Kita hanya didoktrin untuk menjadi 'pekerja-pekerja-pekerja, babu-babu-babu' dan akibatnya ya ini, kita jadi bangsa yang semakin terbelakang. Mengelak?

Q-mark

Berkaca pada kehidupan manusia yang dipenuhi dengan ambisi dan egoisitas tinggi, Tuhan memang Maha Adil untuk memberi kita cara untuk berkesempatan menikmati hidup yang singkat ini, cukup dengan sebuah tanda tanya dalam hidup. Kita selalu bertanya-tanya apa yang akan terjadi sekarang, nanti, esok, dan selamanya. Kita tidak pernah tahu. Kita hanya diberi secuil kemampuan bertahan hidup, bermula dari tanda tanya tersebut. Sesungguhnya apa tanda tanya itu? Mengapa hanya itu?
 
Tanda tanya adalah sebuah ketidakpastian. Ia bersifat ambigu, netral, dan tidak memiliki kekuatan untuk memutus. Boleh dibilang tanda tanya itu adalah sebuah kelemahan. Pernahkah kalian mendengar, tanda tanya itu bersifat layaknya tanda seru yang identik dengan sesuatu yang pasti, jelas dan nyata? Tanda tanya bagi manusia adalah sebuah hak. Sengaja Tuhan tidak memberi kuasa penuh dalam diri kita untuk mengatur, mengubah, menentukan baik buruk nya hidup kita. Kita cuma diporsikan untuk : menunggu, mengharap, dan berharap-harap cemas. Segalanya pada manusia cukup dengan : mungkinkah, mungkinkah, mungkinkah.
 
Bisa dibayangkan, ketika Tuhan juga menganugrahkan kemampuan kepada kita untuk menentukan apa yang terjadi pada hidup. Didasari sifat manusia yang tidak pernah puas dan hanya dilingkupi nafsu semata, kita yang selalu lemah ketika dihadapkan dengan bisikan setan untuk menjerumuskan, kemampuan tersebut pastilah akan dipergunakan tidak semestinya. Kita bisa dengan mudahnya menjadikan kaya, tanpa sedikitpun berusaha. Kita bisa dengan bimsalabim menentukan ini, itu, tanpa sedikitpun berpikir apakah itu baik atau buruk di masa mendatang.  Kita bisa bertindak melebih dari Tuhan kita sendiri.
 
Terlepas dari kenyataan bahwa manusia juga memiliki sikap optimisme yang tinggi, namun sesungguhnya sikap tersebut adalah pelarian secara psikis untuk menolak sebuah pertanyaan, atau tanda tanya itu sendiri. Mereka beroptimis, berarti bersikap berbaik sangka pada Tuhan, berbaik sangka kepada tanda tanya nya, karena mereka tengah berharap sebuah kejaiban terjadi dalam dirinya. Mereka takut sebuah tanda tanya itu merebut kontrol pada diri sendiri, sehingga perasaan kalut, minder, ketakutan yang tak berkesudahan yang akhirnya akan merugikan diri mereka sendiri.
 
Dengan nasib tersebut, kita bisa memaknai hidup dengan beraneka cara. Banyak yang kita bisa lakukan dengan tanda tanya tersebut. Kita dilatih untuk bersabar dan berusaha, sebelum nantinya Tuhan berkata 'itu baik untuk kamu atau itu buruk untuk kamu'. Kita akan lebih menghidupi hidup ini dengan kesyukuran. Kita akan menjadi manusia pemimpi nomor satu, karena bermula dari mimpi itu kita akan lebih merasa hidup. Kita akan menjadi manusia pengharap, sekalipun ketidakpastian akan hadir menghadang. 
 
Ya, tanda tanya akan selalu hadir dalam setiap sisi hidup kita. Percaya Tuhan selalu berbaik hati pada kita adalah kuncinya.

1st ouchsome-ness

Memulai sebuah perubahan adalah hal yang cukup sulit. Proses pendewasaan diri dengan cerita panjang dan berliku, serta menguras emosi adalah hal paling indah yang pasti manusia alami selama hidupnya. Manusia layak dinobatkan sebagai pembelajar seumur hidup, karena manusia tidak akan pernah berhenti bermetamorfosis, belajar mengenal lingkungan sampai mereka bisa memaknai hidupnya dengan atau tanpa arti yang, berujung hingga batas kehidupan yang telah ditetapkan oleh Sang Khalik. Manusia, bukankah itu kita? Termasuk saya?

Menulis bagi saya adalah sebuah proses, juga. Jauh sebelum penugasan mata kuliah ini, saya sempat mencicipi aktivitas tulis menulis dalam dunia maya. Beberapa akun blogspot dan wordpress adalah korbannya. Sebagian kecil masih tersisa sampai sekarang, yang lain? Poof. Hilang tak berjejak. Sejak SMP, saya hobi sekali menulis semacam diary dengan blogspot yang sangat sederhana dan minim kalimat. Itupun jauh dari kata 'pantas' dan enak untuk dibaca. Menginjak masa SMA yang setahap lebih maju, aktivitas blogging menjadi kesukaan saya. Di waktu itu, saya telah belajar blogwalking dengan orang-orang hebat yang sekalipun belum pernah saya temui dalam dunia nyata, namun mereka pantas dijadikan orang yang telah menginspirasi saya, sampai saat ini. Mereka menulis dengan konsep yang jelas, bahasa yang tingkat tinggi dan sering kali saya belajar bahasa (Inggris terutama) secara tidak sengaja, dengan mereka. Mereka jauh lebih dewasa daripada saya, misalnya dalam melihat hidup dengan tujuan yang jelas. Mereka juga lebih jago dalam memegang prinsip hidupnya yang bisa ditebak berdasarkan pengalaman dan cerita hidupnya yang luar biasa. Mereka lebih pandai dalam merangkai kalimat dengan struktur yang baik dan benar, tidak seperti saya. Pantas saja, setiap kali membaca tulisan terbarunya, saya merasa nothing karena belum bisa berkarya lewat tulisan yang bisa menginspirasi bagi banyak orang, paling tidak untuk orang terdekat.

Syukur Alhamdulillah, Allah memberi kesempatan saya untuk belajar menulis lagi, dengan level yang lebih tinggi pastinya daripada belajar menulis era SMP atau SMA-an. Kehidupan perkuliahan pasti akan membuat saya menjadi pribadi yang jauh lebih baik, lebih dewasa, dan lebih produktif. I don't matter it will run enough good someday, but I keep hard trying to get better than yesterday. Just it.