Minggu, 30 Oktober 2011

Pendidikan berkarakter? Haruskah?

Pendidikan yang berkarakter memang sedang ramai digalakkan menyusul program kerja menteri pendidikan saat ini, yaitu Pak Muhammad Nuh (dengan bangga saya sebutkan karena Beliau adalah alumni ITS). Semua instansi pemerintahan, khususnya yang bergerak dalam dunia pendidikan berlomba-lomba menyusun rencana terkait dengan penggalakan pendidikan yang berkarakter sesuai kesepakatan antar lembaga atau instansi tersebut. Pendidikan karakter yang dimaksud disini, berdasarkan artikel-artikel yang saya pakai sebagai referensi adalah :

Menurut UU no 20 tahun 2003 pasal 3 menyebutkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter bangsa yang bermartabat. Ada 9 pilar pendidikan berkarakter, diantaranya adalah:
  1. Cinta tuhan dan segenap ciptaannya
  2. Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian
  3. Kejujuran /amanah dan kearifan
  4. Hormat dan santun
  5. Dermawan, suka menolong dan gotong royong/ kerjasama
  6. Percaya diri, kreatif dan bekerja keras
  7. Kepemimpinan dan keadilan
  8. Baik dan rendah hati
  9. Toleransi kedamaian dan kesatuan
Bagi saya, sembilan pilar tersebut merupakan usaha pemerintah dalam membudidayakan sifat-sifat yang selayaknya dimiliki oleh generasi muda saat ini, yang notabene mereka adalah calon pemimpin bangsa yang harus memiliki pondasi yang kuat dan berkarakter sesuai yang dicita-citakan bangsa ini. Mengapa pemerintah membuat gebrakan baru dalam dunia pendidikan kita dengan meluncurkan program 'Pendidikan Berkarakter' tersebut?

Pemerintah nampaknya sedang meniru (secara positif) atas usaha Jepang yang merupakan sebuah negara maju (padahal jika dibandingkan dengan Indonesia, Jepang kalah jauh dalam urusan sumber dayanya). Hal ini cukup beralasan bagi bangsa kita untuk mau mencontoh filosofi hidup penduduk Jepang yang terkenal dengan pekerja keras dan memiliki konsep diri yang kuat akan makna kehidupan itu sendiri. Misalnya, kenyataan bahwa hanya ada 5-10% manusia cerdas ditiap negara membuat Jepang mempersiapkan pendidikan berkarakter untuk membentuk 90% siswa-siswinya yang merupakan penduduk mayoritas. Walhasil, negara Jepang kini menjadi negara maju dan disiplin bukan karena kecerdasan semata, tetapi karakter kuat dari penduduk mayoritas yang telah digembleng dalam masa pendidikan. Inilah yang seharusnya kita contoh, meskipun kita juga harus berbeda dengan nilai-nilai yang terkandung dalam bangsa ini. Kita harus memiliki karakter diri yang kuat sesuai moral yang berkembang dalam lingkungan sosial budaya Indonesia.

Cukup miris memang, kita sebagai bangsa yang tersohor memiliki potensi besar untuk maju, malah tertinggal dengan negara kecil, meskipun tidak memungkiri kita juga memiliki kelebihan atau hal-hal yang bisa dinilai lebih baik dari mereka. Kebalikan dari negara Jepang, pendidikan di Indonesia justru menyiapkan seluruh siswa-siswi kita menjadi ahli pemikir dan ilmuwan. Sedangkan di Jepang, mereka sadar bahwa tidak semua siswa itu cerdas dan memiliki potensi yang sama. Kecerdasan bukan hanya potensi akademik, tapi ada beraneka ragam dimensi kecerdasan yang sifatnya konkrit, seperti ketrampilan, seni, olahraga dan kegiatan non akademik lainnya. Bisa kita lihat dari sedikitnya lembaga pendidikan, contohnya sekolah-sekolah yang menyediakan pelayanan terhadap anak-anak luar biasa di luar bidang akademik. Meskipun ada, itupun milik swasta yang bisa dipastikan bukan sekolah rakyat jelata. Memang faktor akademik cukup penting, namun alangkah lebih baiknya jika berkaca pada diri sendiri terhadap kemampuan apa saja yang dirasa lebih menonjol, jangan sama ratakan kemampuan generasi kita yaitu hanya bergerak di bidang akademik. Saya contohkan, di sekolah beberapa guru sering menyepelekan murid-murid yang tidak terlalu tertarik atau tidak menonjol dalam bidang akademik, namun mereka justru lebih tertarik dengan bidang non akademik lain. Guru tersebut sering memarahi dan menganggap remeh mereka. Tidak sering, menjadikan mereka bulan-bulanan atas kekesalan dan ketidakpahaman untuk apa yang disebut karunia Tuhan, yaitu anugrah yang berbeda-beda di setiap orang.

Fenomena yang menarik adalah ketika dunia pendidikan asyik menciptakan siswa-siswi cerdas dengan memberikan beban pelajaran super berat dan banyak, padahal dengan beban pelajaran yang tinggi, energi guru dan siswa terbuang percuma karena mereka sadar hanya 5 – 10 % siswa saja yang mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Hal ini tentu menjadi bumerang bagi dunia pendidikan Indonesia karena jelas-jelas mengabaikan 90% siswa dengan kemampuan dibawah rata-rata dan dianggap tidak memiliki nilai akademis tinggi. Bahwa dikatakan bumerang karena siswa dengan nilai akademis rendah dan sedang menempati porsi terbesar di negara Indonesia, maka yang terjadi adalah pendidikan Indonesia menciptakan jurang dikotomi terhadap hak-hak pendidikan yang layak bagi 90% komunitas ini. Pantas saja, sebagian besar siswa yang termasuk bagian 90% tersebut sering menyerah terhadap keadaan yang memaksa mereka untuk mundur. Mereka merasa tidak dimanusiakan karena sesungguhnya itulah yang maksimal bisa mereka capai, namun mengapa orang lain menyalahkan atas kekurangan tersebut? Bukankah setiap orang memiliki sisi baik dan buruknya masing-masing? Ketika mereka dianggap gagal, mereka akan berhenti berharap. Lalu apa jadinya? Itu sama saja mematikan kreativitas mereka dan kemauan mereka untuk berupaya, bukan?

Mungkin dirasa terlalu 'lebay' memang, seorang mahasiswa baru yang terlalu awam dengan masalah krusial bangsa ini berani berbicara dan menyatakan fakta bangsanya sendiri. Ini sekedar opini. Opini yang selalu menyehatkan saya, karena dengan beropini saya jauh merasa lebih tenang. Khususnya opini yang diwujudkan dengan media tulisan. Semoga program Pendidikan Berkarakter bukan lagi menjadi jargon gagal. Selamat bekerja produktif teman-teman :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar